Pulang




Baru terposting 1 Desember, padahal isinya refleksi bulan November. 

Di akhir bulan, warganet mendadak kreatif ditandai dengan ramainya video-video singkat hal-hal yang mereka jalani, alami, dan rasakan selama sebulan penuh (meski yang diabadikan kebanyakan yang seru-seru aja sih). Tren ini biasa disebut "[nama bulan] Recap", "[nama bulan] dump", "[nama bulan] story", dll. Terlihat FOMO, tapi asli, tren ini cukup menghiburku dari sisi kreator dan penonton. Kalau dari sisi kreator, recap ini selain menandakan "joined this trend", hasil dari video sekian detik ini bisa memutar ulang memori dan kenangan yang mungkin sengaja atau tidak sengaja diciptakan. Yang ditampilkan di video mungkin hanya sekelebat, tapi ingatannya hidup seharian. Kalau dari sisi penonton, terkadang aku mendapatkan inspirasi untuk mencoba aktivitas seru seperti orang lain. Lain lagi jika ada seseorang yang memang kutunggu-tunggu hasil recapnya. Seakan-akan ia terbuka kepada orang lain (dan juga mungkin secret admirer-nya) tentang apa saja yang sudah ia lakukan selama sebulan. Tapi untuk hal ini kita perlu antisipasi berlebih jika tiba-tiba dia memasukkan foto 'orang spesial'nya ke dalam recap. Alias, siap-siap amankan otak dan hati Anda kisanak.

Tidak jarang juga sebagai judul video recap, nama-nama bulan digubah menjadi suatu kata yang bisa dibilang "mungkin" mewakili keseluruhan 30 atau 31 (atau 28, atau bahkan 29) harinya. Novemberandom, Novemberat, Novemberame, November, November, November... ah, nevermind. Kalau November 2022 versiku adalah "Novembersinar". Sebab rasanya bulan ini adalah titik balik diriku setelah tersesat jauh entah kemana. Akhirnya aku dibawa pulang, bonus dapat jawaban logis dari pertanyaan-pertanyaan yang kerap menghantui sejak beberapa waktu belakangan. Sebenarnya belum tuntas, masih butuh masa khusus untuk pencarian. Tapi setidaknya ada titik terang, alhamdulillah.

Khas tulisan sesosok pribadi tanggung umur 20-an, apa lagi yang bisa dicurahkan selain keresahan akan masa depan? Harapan-harapan yang disematkan orang-orang terdekat. Cita-cita yang berbenturan dengan kesenangan sesaat. Perintah-perintah yang sering dilanggar. Kebohongan-kebohongan kecil yang digunakan untuk menghindari keributan. Lagu-lagu yang liriknya menyayat hati meski tidak ada yang menyakiti. Topeng-topeng yang silih berganti dilepas-pasang tergantung situasi dan kondisi. Omongan orang sok tahu yang mempengaruhi pengambilan keputusan hari esok. Tapi enggak apa-apa, ini masih badai kecil karena ributnya baru melibatkan aku dan diriku saja. Kalau kata Ari Lasso, "badai pasti berlalu". Oke Om Ari, kupegang kata-katamu.

Badai kecil tadi tetap konsisten, tidak mereda juga tidak bertambah ribut. Tapi di penghujung November ini, aku memiliki sedikit bekal tentang bagaimana cara menjinakkannya. Mungkin tiap individu memiliki caranya masing-masing untuk menjinakkan badainya sendiri. Setelah mengasingkan diri selama kurang lebih lima hari dari kehidupan dunia maya (khususnya WhatsApp), wejangan panjang orang tua (dicicil per sekian hari), dan bantuan lirik lagu magis sedikit demi sedikit aku menghimpun ilmu cara mengeluarkan diri dari pusaran angin badai "kecil" ini. Sayangnya aku sedang halangan, jadi kurang kuat di jalur langitnya meski hampir setiap hari tetap "yaAllah-yaAllah". Dari serangkaian usaha tadi, ada satu kesimpulan yang aku dapatkan: 

"Ternyata aku membutuhkan waktu khusus untuk muhasabah dan mendengarkan kata hati."


Ternyata yang kubutuhkan hanya jeda sejenak. Selain itu, aku juga butuh untuk mendengarkan apa kata hati dan pendapat orang lain. Ada bagian yang hilang dari diriku sejak beberapa waktu terakhir dan aku penasaran dibuatnya. Rasanya seperti tersesat dan tertinggal. Alhamdulillah dengan cara di atas, aku seakan-akan diberi petunjuk untuk kembali pulang. Kembali berjalan di jalur yang seharusnya (semoga). Perlahan menyelamatkan diri dari badai kecil dan dipastikan memeluk harapan berikut kepercayaan yang hampir hanyut. Sebagai syarat, ternyata aku perlu "membuang" beberapa muatan yang bisa jadi menghambat pencarian jalan pulang. Hal ini dipandang sebagai "bentuk pengorbanan", mana-mana saja yang harus dipertahankan dan yang harus ditinggal. Bagian ini masih cukup berat buatku, tapi kupastikan sekali lagi, kutegaskan berkali-kali bahwa aku ingin pulang!

Jarang sekali aku merasa bisa "disembuhkan" oleh lagu. Mentok-mentok hanya merasa relate. Di tengah perjuangan menerjang badai, lagu-lagu Elephant Kind dan FSTVLST menjadi pelipur dan sumber optimisme tambahan. Fiersa Besari turut meramaikan, berikut Hindia hingga Ndarboy Genk. Tapi izinkan aku membagikan tiga gambar lirik yang bisa membuat harapan memeluk rute jalan pulang kembali hidup:

"Merapal doa, gas sekencangnya"

"I promise I'll be much better"

"These are the better days. If not today, must be tomorrow"


Tulisan ini rilis di hari pertama Desember. Enggak apa-apa, masih ada 30 hari menuju 2023. Tetap konsisten dan oh iya, ada pesan buat diriku: tolong bertahan sampai kamu benar-benar menemukan dirimu kembali. Tetap berada di jalur, tolong berani buktikan bahwa kamu ingin pulang!


Yogyakarta, 1 Desember 2022

sedang mencari jalan pulang

Komentar

BACA JUGA TULISAN YANG LAIN👇