Hingar Bingar Hampa

Belakangan ini terasa hampa, padahal banyak kejadian yang terjadi dan itu macam-macam rasanya. Ada part senang, sedih, kacau, bingung, biasa aja, seru, menegangkan, dan lain-lain. Mungkin karena saking banyaknya yang dirasain malah jadi terasa hampa. Tapi aku berniat untuk menerjemahkan dan meluruskan lagi simpul kacau dari perasaan yang -seharusnya dan sebenarnya- enggak hampa ini.

Hidup kan enggak bisa ya dipandang dari satu sisi aja, melainkan harus memperbanyak sudut pandang dengan empati, memahami apa yang terjadi di sekitar, sebab-musababnya, hikmahnya, dan banyak lagi. Dari mindset-ku yang ini aku memiliki satu pandangan multidimensi tentang "kesulitan". Menurutku, setiap orang memiliki kesulitannya masing-masing tanpa terkecuali. Yang hidup senang, di dalam kesenangannya bisa jadi ada kesusahan. Yang hidup susah, boleh jadi di balik kesusahannya menyimpan rasa senang. Yang hidupnya penuh privilese, pasti ada harga yang harus dibayar untuk mempertahankan posisinya. Yang hidupnya penuh perjuangan, pasti ada nyala senyum yang ia damba di ujung pertemuannya. Intinya, semua serba susah! Mungkin paragraf ini sesuai juga dengan makna filosofi Jawa "urip kuwi mung sawang-sinawang". 

Kali ini aku mau cerita soal diriku sendiri. Dari macam-macam orang yang disebutkan di atas, aku rasa aku ada di kategori pertama dan ketiga (alhamdulillah). Semakin banyak kenal dan mengetahui kisah orang-orang di sekitarku, ternyata apa yang kualami selama hampir 21 tahun hidup itu enggak ada apa-apanya daripada mereka yang mungkin punya struggle-nya masing-masing dalam bertahan hidup. Tapi baru-baru ini aku merasa tidak adil terhadap diriku karena memiliki pemikiran demikian. Suara dalam diriku meneriakkan bahwa aku tidak boleh merasa terus baik-baik saja karena tidak punya struggle seberat teman-teman yang lain. Suara itu melanjutkan kalimatnya, "Perasaanmu itu valid loh. Kalau memang kamu merasa kesulitan karena sedang berjuang untuk suatu hal dan berujung capek, akui aja!" 

Memang, kalau diceritakan kehidupanku boleh jadi sangat enak bagi sebagian orang. Kuawali dengan ungkapan syukur alhamdulillah, orangtuaku masih lengkap. Keluarga suportif. Hidup cukup tanpa khawatir harus makan apa besok. Fasilitas pendukung belajar selalu terpenuhi. Kecipratan beberapa privilese yang sangat berguna di masa depan kalau pandai menggunakan dan memanfaatkannya. Tidak pernah dituntut dalam hal akademik. Tidak pernah khawatir tentang cucian baju. Sudah jelas masa depannya mau dibawa ke arah mana. Punya pemasukan pribadi tipis-tipis. Dan masih banyak lagi kesenangan hidupku. Namun, dari sekian banyak nikmat tersebut berdasarkan kriteria orang ketiga yang disebutkan di atas, di samping memiliki privilese melimpah pasti ada harga yang harus dibayar supaya posisi tersebut masih bisa dipertahankan. 

Terkadang aku mempertanyakan kenapa harga yang harus kubayar begitu mahal. Menjadi anak perempuan pertama yang enggak cuma jadi panutan adik-adik kandungnya, melainkan panutan bagi sepupu-sepupu dan juga jamaah Abi-nya. Meski tidak disuruh, namun perihal menjaga marwah sebagai perempuan, muslimah, dan anak pak ustad yang sudah pasti memiliki jamaah adalah suatu peraturan tak tertulis dan wajib ditaati demi nama baik kami semua. Kerap muncul di internet bahwa anak pertama harus tangguh, ya itu benar. Sering dimintai tolong tapi jarang ada yang giliran menolong. Terbebani ekspektasi lulus tepat waktu, lanjut studi, menikah, berkeluarga, dan bekerja.  Tetap membangun citra diri secara mandiri supaya tidak dikenal hanya karena nama bapaknya. Tidak memiliki tempat leluasa bertanya tentang apapun selain teknologi Google dan ChatGPT. Si pembuka jalan bagi adik-adiknya, membabat habis jalur pendakian menuju kemuliaan hidup. Dan masih banyak lagi, sangat banyak rupanya. Takut dikatain pick me dah kalo kebanyakan.

Pandanganku tadi berkata, bisa jadi orang yang tidak selalu mudah dalam menghadapi kehidupan tidak perlu repot-repot sepertiku yang harus menjaga ini-itu. Bahkan kadang aku iri dengan mereka. Tapi aku yakin mereka pasti juga mengalami kesulitan di bagian yang lain. Begitu terus sampai akhirnya aku sadar bahwa tidak pantas membanding-bandingkan apa yang ada dan tiada di hidupku dengan hidup orang lain. Aku pernah membaca suatu kalimat bahwasanya semua sudah dibagi adil, ada porsi senang dan susahnya. Toh susah-senang porsinya akan datang bergilir. Meski kadang ga terima dengan apa yang sedang dijalani, perlahan tersadar kembali bahwa susah yang sedang dialami akan berlalu juga. Jika sedang senang pun begitu, baiknya jangan terlalu berlebihan dalam menyikapi kesenangan. Karena senang yang menyelimuti pun akan berlalu juga, jadi ada baiknya tetap siaga menghadapi kesedihan-kesedihan berikutnya.

Terakhir, aku mau mengutip quotes dari Stephen Covey, penulis buku "The Seven Habits of Highly Effective People":

When you show deep empathy toward others, their defensive energy goes down, and positive energy replaces it.

Mari mulai melihat dunia dengan kacamata positif :)


Komentar

  1. See u in the top level

    BalasHapus
    Balasan
    1. ah sayang sekali dikirim dari anonim, tapi gapapa.. makasih, see u on top juga!

      Hapus

Posting Komentar

BACA JUGA TULISAN YANG LAIN👇