Hidupkan Lagi :)
Keluar dari asrama membuatku memiliki waktu luang yang lebih dari cukup. Bebas pula dari jadwal sekolah setidaknya ada sedikit kesempatan untuk bersantai dan melakukan apa yang kusuka tanpa takut terlambat atau kehabisan waktu. Termasuk membaca buku. Kebiasaan saat TK-SD yang sempat meredup semangatnya ketika SMP-SMA. Ingin rasanya aku hidupkan lagi kegiatan mengasyikkan itu sebagai kebiasaan baru mengingat diri ini masih fakir ilmunya. Dan, ya karena aku sudah mahasiswa. Dengan membaca otakku diajak bekerjasama memahami pemikiran penulis. Aku dilatih berhadapan dengan orang lain yang mungkin berbeda persepsi denganku. Panca indra diajak kerjasama untuk memproses dan menginterpretasikan makna dari tiap baris yang ditulis. Oh, pastinya menambah wawasan pula terlepas sudah mengetahuinya atau belum. Bukankah yang diulang-ulang justru lebih merekat kuat di ingatan?
Kalau ditanya kegiatan apa yang cocok untuk menghabiskan waktu luang, jelas jawabanku: melakukan yang aku suka. Dan apa yang kusuka? Buku. Rasanya ga sia-sia sengaja mengalokasikan waktu untuk membaca beberapa paragraf, walau nantinya pun keterusan hingga satu bab. Menurutku tidak ada yang salah dengan membaca, asal bacaannya dapat dipahami dengan baik dan meninggalkan kesan membekas setelahnya.
"Bagaimana saya ingin mulai membiasakan baca buku?" tanyamu. Cukup pahami dirimu topik apa yang kira-kira disukai. Ga usah dipaksa baca yang berat-berat kalau memang tidak suka, apalagi kalau memang ga penasaran. Jangan baca kalau cuma buat keren-kerenan. Pokoknya dengan membaca, kamu juga dapat memahami dirimu sendiri. Kamu jadi tau apa yang kamu suka. Dengan begitu, sampailah nanti pada jenjang "spesialis" akibat sesayang itu kamu pada dirimu. Part yang paling kusuka dari membaca buku adalah otakku mau diajak eksplorasi memori-memori sisa yang ajaibnya bisa aktif lagi ketika menemukan hal yang berhubungan di buku. Selain itu aku juga suka ketika menemukan kata-kata bijak, yang kadang rasanya perlu dishare di status media sosial walau mungkin saja bisa jadi beberapa orang menganggap pamer. Ah sesuka itu sama buku, walau belum sampai di level kutu buku.
Alasan lain keinginanku untuk kembali membaca dan menambah koleksi buku adalah karena melihat perpustakaan pribadi abi yang kelihatannya masa mudanya dipenuhi hal-hal bermanfaat. Buku-bukunya semasa mahasiswa terlihat berbobot, hampir semuanya berbau teologi Islam. Beliau pasti memiliki uang untuk membeli buku, karena katanya "lebih baik ga makan daripada ga punya buku". Jadi yaa dapat disimpulkan beliau pasti menyisihkan sebagian uang saku dan hasil jerih payah ala mahasiswa yang tidak banyak itu cuma untuk belanja buku. Secinta itu.. Alhamdulillahnya kini Abi sudah berkecukupan, jauh dari kehidupan saat susah seperti dulu. Imbasnya, anak-anaknya diberi kelonggaran untuk beli buku apa saja asalkan lolos dari saringan. Beliau dengan senang hati mentransfer sebagian uang ke rekeningku dengan embel-embel: untuk beli buku. Tapi akhir-akhir ini aku sering tidak izin sebelum beli buku sebab pasti ditanya "siapa yang nulis?" "tentang apa?" yaa bagaimana mau menjawab kalau belum baca bukunya, resensi aja ga cukup untuk deskripsiin dari perspektifku....
----
Yang paling berbahaya dari buku (dan media informasi lainnya) adalah inti yang ingin disampaikan oleh si penulis. Keadaan ini juga tergantung bagaimana kita sebagai pembaca men-setting otak pada kondisi awal. Entahlah karena kita ngefans sama penulisnya jadi apapun yang ditulis bakal diterima aja. Atau mungkin kita membaca karya seseorang karena ingin mencari kelemahannya, ini menimbulkan sikap kontradiktif sebagai tameng pemahaman yang sudah kita punya (dan sedikit kesombongan kadang-kadang wkwk). Bisa juga dari awal kita berada di pihak netral, yang mana keberpihakan ditentukan nanti jika sudah sampai di pertengahan atau halaman terakhir.
Karena membaca merupakan aktivitas yang berkaitan dengan otak dan dilakukan dalam intensitas waktu yang lama, boleh dibilang selama membaca alur pemikiran kita dibawa bebas oleh penulis.
Maka apabila penulis tersebut berpaham A, kita sebagai pembaca yang menikmati karyanya secara tidak langsung tergiring menjadi A juga. Iya kan begitu? Kalau ada sosok berpengaruh bicara X, pendukungnya ikut bicara X pula. Nah baiknya menurutku kalau tidak mau goyah imbangi pula membaca produk lawannya (kalau ada). Biarlah dicap setengah-setengah, yang mana berarti kita paham dari kedua sisi. Kalau tidak ada yang cocok dari keduanya? Tenang, pasti ada opsi lain selain keduanya, yang mungkin ditawarkan sebagai ide baru oleh penulis lain. Ini pula yang menjadi alasan kenapa buku-buku yang kupunya harus lolos dari saringan Abi. Beliau ga mau kalau pola pikir anaknya tiba-tiba menyimpang dari apa yang ia ajarkan, tidak lain tidak bukan pasti gara-gara apa yang dia lihat, dengar, dan baca. Semengerikan itu :") Ya, kasus ini pernah terjadi padaku beberapa tahun silam. Dan aku mengambil pelajaran dari pengalaman itu, walau beberapa bulan lalu hampir kejadian seperti ini terulang lagi :").
Oh iya, di kehidupanku yang sekarang sebagai post-teenage pre-adult (tengah-tengah) aku berusaha memperbanyak buku serius/ non-fiksi dibanding buku fiksi. Sebab apa ya, non-fiksi lebih menantang untuk dipahami, dan sepertinya lebih banyak memberi insight daripada sekadar baca yang ringan. Ini ga bisa disamaratakan sih, aku juga masih baca-baca yang fiksi kok. Cuman ya itu tadi, porsinya dibanyakin yang serius karena, ya masa gaada perkembangan pola pikir di masa-masa transisi menuju dewasa? Setidaknya inilah sarana untuk mempertajam pemikiran dan memperkaya wawasan. Genre yang baru-baru ini ingin kuselami ialah sejarah dan sains, terutama yang bernuansa islam. Entahlah karena aku masih merasa lebih familier dengan yang berbau islam daripada yang general. Untuk langkah awal masuk ke literasi serius sepertinya ga salah kan? Mulailah dari apa yang kamu suka :) Mungkin kedepannya aku ingin mencoba ranah bacaan gender dan buku teknik? Boleh nih masukin list :D
Komentar
Posting Komentar