Seminar Proposal | Magnum Opus bag. 1

Kita hadapi, kita lewati, kita ikuti, kita nikmati


Berhubung blog ini difungsikan untuk mendokumentasikan pelajaran dan memori hidup, rasanya aku sangat perlu menceritakan sebuah fase permulaan (dan penentuan) masa studi perguruan tinggiku, yakni seminar proposal atau akan kita sebut selanjutnya dengan "sempro". Segmen cerita fase menuju penentuan ini akan kuabadikan dengan nama "Magnum Opus". Bukan tanpa alasan, istilah ini menurutku keren dan mewakili "karya terbesar"-ku selama aku hidup. Pertama kali aku membaca kata "magnum opus" dari buku-buku bertemakan peradaban Islam. Banyak sekali istilah ini muncul di sana untuk menyebut karya-karya terbaik dan terbesar ilmuwan muslim zaman itu. Didukung pula dengan lagu dari salah satu band favoritku, FSTVLST, yang berjudul "Opus". Oke skip untuk intronya, sekarang mari kita cerita soal sempro.

Seperti biasa, di Informatika UAD ada sekitar 3 (versi lain mengatakan 4) tahapan seminar sebelum legal menyandang titel sarjana. Pada intinya meliputi: seminar proposal, seminar kerja praktik, dan seminar hasil/pendadaran. Untuk yang menyebutkan 4, akan ketambahan seminar manajemen proyek di antara sempro dan seminar kerja praktik. Alhamdulillah, angkatanku kini mencapai fase tahap pertama dan kedua atau kerennya 2/4. Tahun ini diwajibkan mengikuti sempro kalau tidak mau mengulang mata kuliah Metopen. Jadi pada dasarnya anak-anak 2020 harusnya pada sempro semua, meski ada beberapa yang belum dikarenakan tidak terkejar jadwal pendaftarannya. Di satu sisi aku jadi berpikir bahwa sempro tahun ini tidak sespesial itu karena memang diwajibkan, di sisi yang lain aku berpikir yang namanya capaian spesial harus tetap senang dan biarkan diri ini menjadi bintang sehari saja. Aku pun memilih opsi kedua: menjadi bintang barang sehari.

Sedari awal masuk Informatika, di bayanganku suatu saat aku akan membuat penelitian yang mengintegrasikan keilmuanku dengan ilmu agama. Hal ini kulakukan selain karena emang tertarik juga sebagai "bayar utang" karena ga milih jurusan yang sama dengan Abi (hiks).  Perjalanan penelitianku tidak semulus itu. Kalau boleh diingat, aku mengalami tiga kali ganti metode. Sempat chaos karena bingung mencari apa yang cocok dan sekiranya mampu dikerjakan. Rintangan yang lain adalah kewalahan mengatur waktu karena saat itu sedang pusing di program Bangkit juga. Penulisan pertama kali masih sangat acakadul dan aku yakin aku tidak paham sama sekali dengan apa yang kutulis. Karena tidak yakin itulah aku sangat ragu setiap waktu bimbingan. Dosen pembimbingku, Bu Dewi, menangkap keraguanku dan beliau memintaku untuk baca lebih banyak survey paper supaya mengerti apa yang sedang happening di topik tersebut. Di titik ini aku menyadari bahwa pengetahuanku masih seuprit, sehingga aku pun semakin haus mencari jurnal-jurnal pendukung. 

Akhirnya aku beranikan diri untuk mengganti metode. Yang awalnya fokus kepada algoritma pencocokan kata, sekarang aku memfokuskan pada algoritma memahami konteks kata. Tidak apa-apa merombak bab 1 dan bab 2, setidaknya aku memahami masalah apa yang ingin kuangkat. Sebenarnya ide penelitianku simpel, yang rumit adalah algoritmanya. Langsung kutulis proposalku karena mengejar tanggal tenggat pendaftaran batch 1. Perlu dikejar karena aku khawatir dapat jadwal seminar di tanggal-tanggal sibuk bulan Agustus [idih]. Masa penulisan paling lama memang di Bab II, karena waktunya dipakai untuk membaca referensi dan menulis. Bab II selesai kutulis dalam rentang dua hari satu malam, sedangkan Bab III sehari semalam. Terlihat ngebut, tapi bagiku itu waktu yang wajar mengingat aku sudah memiliki peta besar ide ingin membuat apa. Kendalanya di setelah ini nih, meminta persetujuan dari dosen pembimbing. Mungkin jika aku lebih cepat mendapatkan acc, bisa jadi seminarku di pekan terakhir Juli. Tapi enggak papa, kemarin aku jadi membuka Agustus dengan seminar!

Sebelum seminar, aku overthinking. "Padahal udah biasa presentasi, kenapa sekarang jadi gugup gini?" pikirku malam sebelum pelaksanaan. Tentu aku mencari testimoni dari kawan yang dosen pengujinya sama. Ternyata tidak semengerikan yang kubayangkan kemarin. Aku pun baru tahu ketika ujian sempro kemarin bahwasanya jarang mahasiswa yang minat ke penelitian sejenis punyaku karena terbilang sulit [katanya]. Pantas saja aku ditanya dosen penguji, "Mbak yakin mau ambil (topik) ini?" sampai tiga kali. Dari dalam hati sebenarnya yakin ga yakin, karena niat murniku ingin mencoba mengaplikasikan apa yang kupelajari di Studi Independen. Gapapa, biasa saja, kamu tak apa kalau kata Hindia. Lalu di akhir ibu dosen pembimbing menambahkan apresiasi (meski satir sedikit), "Wah Pak (dosen penguji), awalnya judulnya Mbak Balma ini ecek-ecek sekali, sampai saya rekomendasikan untuk ganti saja. Lah pas tiba-tiba menyerahkan revisi, kaget saya Pak karena mengambil topik yang di luar dugaan." Aku juga sama, ga menduga kalau rupanya judul pertamaku emang se-ecek-ecek itu [nangis jelek]. 

Selebrasi sempro-ku juga tidak seberapa meriah. Entah, aku memilih untuk tidak memberi tahu jadwal semproku ke banyak orang kecuali jika ia bertanya atau dengan spontan aku menyeletuk. Mohon maaf buat yang baca kalau kemarin aku ga berkabar apa-apa :"). Lebih ke takut kalau diundur tiba-tiba padahal sudah koar-koar tanggal sempro. Awalnya aku berpikir negatif duluan, "Memang siapa yang mau meluangkan waktunya buatku?". Namun hikmah yang kudapat dari sempro ini salah satunya adalah aku jadi tahu bahwa aku punya teman-teman yang suportif. Selebrasi via media sosial saja rasanya sudah cukup, apalagi yang sampai effort datengin dan memberi bingkisan. Terima kasih teman-teman, luv u to the moon and back <3

Sisanya saat ini aku harus merevisi proposalku untuk diajukan jadi skripsi di kemudian hari. Tantangan terbesar saat ini adalah diri sendiri sih, mau enggak ngejar revisian enggak telat dan males-malesan?

Terima kasih, Ba!


Komentar

BACA JUGA TULISAN YANG LAIN👇