Ayo Belajar Lebih Terbuka Lagi, Ba!


Kamu tau salah satu situasi yang bikin aku enggak nyaman? Sini kukasih tau, aku paling enggak suka ketika aku terlihat unggul di kandang sendiri. Makanya aku merasa lebih ambisius untuk mengejar hal besar di luar lingkungan atau kebiasaanku yang biasanya.

Ada beberapa hal yang kurasa sebenarnya ini pikiranku sendiri tapi kubawa jadi bahan overthinking. Ini menyebalkan, beneran deh. Pernah ga sih kepikiran kalau di kandang sendiri itu penilaian orang-orang di dalamnya jadi subjektif? Pernah ga sih kepikiran kalau di kandang sendiri itu kamu jadi terbiasa dan nyaman dengan kulturnya sehingga enggak ada tantangan untuk melakukan hal yang lebih besar? Pernah ga sih kepikiran kalau di kandang sendiri itu apa-apa dimaklumi sehingga kadang jadi ga jelas karena ketegasannya berbeda-beda?

Dari ketiga pertanyaan tadi, yang paling aku khawatirkan adalah pertanyaan pertama. Aku paling takut, enggak nyaman, dan sebal kalau seandainya merasakan kondisi di pertanyaan pertama. Rasanya seperti diawasi dan parahnya kadang aku suuzon mereka tidak tulus. Tidak tulusnya karena kurasa mereka mengetahui satu-dua hal di belakang layar sehingga apa yang mereka lakukan untukku adalah bentuk jaga-jaga saja. Meskipun kita tidak boleh mencurigai niat baik seseorang, jujur aku takut terkecoh. Di satu sisi aku merasa mereka emang baik karena akunya juga baik ke mereka. Di sisi yang lain aku takut kalau kebaikan mereka dalam rangka menghormati, misal karena aku adalah anak dari seseorang yang berpengaruh di hidupnya.

Entah ya, perasaan ini sepertinya kurasakan karena lebih sering menemui keadaan aku ditinggal begitu saja oleh seseorang dan ia tidak kembali. Maksudku ketika sudah selesai urusannya denganku, mereka memutuskan untuk pergi dan (mungkin) nanti kembali lagi ketika butuh. Bukan mereka yang memilih untuk tetap tinggal apapun yang terjadi. Sehingga aku sering kaget ketika ada teman yang memilih untuk menetap dan memperlakukanku sama seperti sejak awal kenal. Kerap ga nyangka juga jika ada orang yang penuh effort hanya untuk bertemu barang sebentar misal karena aku sedang berada di kotanya. Contoh mudahnya ya teman-temanku yang sampai saat ini masih suka chat/ngobrol denganku baik tentang perkara genting maupun remeh temeh seperti bertukar reels yang anjlok humornya. 

Selain itu, kalau boleh flashback, aku sempat menaruh UAD sebagai last option tempatku berkuliah. Aku menghindari adanya penilaian subjektif itu tadi. Jadi bisa disebut dulu aku ambisius untuk mendapatkan kesempatan PTN. PTN ga lolos, mulai suuzon "apakah aku enggak sepandai dan se-worth it itu untuk duduk di kampus ternama?" Lalu karena enggak mau gap year juga, aku pun memilih UAD namun jurusan yang berbeda dengan Abi, meski jurusan tersebut juga incaranku dari awal. Selama enam semester berkuliah, alhamdulillah tidak kudapati nilai C di KHS. Paling rendah B+, itu pun bisa dihitung jari. Dari sini aku malah suuzon apakah benar aku pintar, atau karena swasta jadi mudah dapat nilai, atau bahkan mereka tau aku anaknya Abi makanya dikasih nilai bagus? Beberapa upaya mendapatkan validasi kucoba. Misal dengan mengikuti asisten praktikum, mengerjakan proker saat di ormawa, hingga mengikuti MSIB MBKM. Ternyata setelah proses-proses berat tadi, aku bisa bertahan bahkan menunjukkan performa terbaik jika dilihat dari sertifikat-sertifikat hasilnya. 

Setelah menyadari dan reminiscing hal-hal tadi, kiranya perasaan suuzonku sudah mulai berkurang... Karena aku jadi mengerti ternyata aku memang worth it untuk mendapatkan posisi-posisi menyenangkan dan prestisius tersebut. Dengan diterimanya aku di pihak dari luar lingkungan dan zona nyamanku, itu berarti memang aku pantas untuk berjuang dan diperjuangkan. Berarti kemampuanku memang diakui oleh orang di luar kandangku. Jika orang luar mampu mengakui, apalagi orang dalam kandang, ya kan? Berarti pengalaman dan nilai-nilai bagusku itu mereka berikan bukan karena aku anaknya seseorang, tapi murni karena kemampuanku berproses. Alhamdulillah dulu ga sih? Juga dalam hal sosial, harusnya siapa pun pantas untuk memiliki kualitas pertemanan yang baik kan? Ah kalau soal hubungan antar manusia gini agak susah sih, ini jauh lebih subjektif daripada sekadar penilaian yang terukur seperti prestasi akademik. Tapi gapapa, syukuri dan nikmati dulu semua yang udah dipunya sekarang, termasuk mereka yang masih mau reaching out sampai detik ini.

Sebenarnya masih tetap ada satu hal yang kupikirkan. Kira-kira orang yang tulus dan full effort itu seperti apa? Dan kalau sudah menemukan jawabannya, muncul pertanyaan lain: kira-kira mereka seperti itu akan bertahan berapa lama? Kayaknya aku perlu membuka diri dan lebih menyederhanakan pikiranku deh, iya ga sih? Kan ga semua orang harus bareng sama aku terus... People come and go, Ba. 


Yogyakarta, 30 Agustus 2023

sedang gamang

Komentar

BACA JUGA TULISAN YANG LAIN👇