Pandai Memaafkan Orang, Lantas Diri Sendiri Bagaimana?

Ramadan tahun ini, enggak ada yang berubah dari segi spiritualku. Cenderung stagnan, bahkan resesi. Baca Al-Qur’an masih segitu-gitu aja, enggak nambah khatam. Udah mulai berani skip salat tarawih. Salat wajib juga ga tepat waktu meski masih dalam rentang waktunya. Infaq? Kalau ingat dan kalau ada pecahan uang di dompet. Malah yang rajin itu nangisnya. Ada tuh sepekan nangis tiga kali. Tulisan ini akan panjang, karena seluruh perasaan yang tertumpuk selama sebulan tanpa teman bicara akan ditumpahkan di sini.

Sedih? Jelas. Melewatkan kesempatan beribadah yang ganjarannya berkali-kali lipat. Seperti melewatkan pertemuan spesial dengan Tuhan melalui amalan-amalan yang diridaiNya. Tapi kesedihan dan penyesalanku tuh rasanya enggak yang lebay gitu, aneh banget pokoknya. Cukup menyesal, tapi rasanya tuh  ikhlas. Bingung kan? Intinya aku rasa Ramadan kali ini berat banget. Baik dari godaan hingga beban amanah yang kuemban.  Ditambah aku seperti sedang berdamai dengan diri sendiri. So Ramadan tahun ini lebih memberi kesan pada pengalaman spiritualku tapi di lain hal. Bukan konteks ibadah tapi perenungan diri, ruhani.

Seperti biasa, aku menjadi pengajar di TPA masjid rumah. Terlebih ketika Ramadan, jadwalnya dari Senin-Jum’at. Aku senang karena kali ini mas-mas asrama banyak yang bantu dan terkesan lebih terkoordinir (makasih Mas Haqqi dan Mas Iqbal!). Meski begitu, rasa-rasanya tetap aku yang ujungnya akan menghandle. Istilah katanya kalau aku enggak ada, TPA bakal biasa-biasa aja. Lepas ngaji, ya sudah main hingga waktu berbuka. TPA kali ini ada jadwalnya dan menyenangkan semua, I guess, hehe.

Berhentinya aktivitas remaja masjid membuatku kewalahan di dua pekan terakhir Ramadan. Tidak ada yang melanjutkan perjalanan periode-periode lalu. Terlebih karena imbas pandemi yang membuat pemuda-pemudi perum merasa tidak ada yang merangkul. Ya bagaimana mau dirangkul dan diberdayakan kalau kegiatan masyarakat ramai juga dibatasi. Sementara itu aku berekspektasi bahwa Ramadan tahun ini dapat menjadi pijakan pertama setelah vakum sekitar tiga tahun. Yah, alhamdulillah ada sedikit pergerakan. Tapi aku tetap ingin rasanya menyalahkan marbot masjid saat ini yang enggak bisa merangkul teman-teman remaja sebagaimana marbot terdahulu. Meskipun aku warga lokal, tapi masjid sebagai pusat kegiatan umat harusnya marbot yang ngurus masjid juga punya andil dong dalam mengumpulkan remaja, terlebih banyak pula yang sering aktif ikut jamaah. Huft, maaf ya.

Beratnya mulai dirasakan di pekan kedua Ramadan. Hal ini disebabkan pikiranku dipenuhi tuntutanku sendiri yang mungkin sedari awal sudah ingin mengaktifkan kembali remaja masjid dan program-program TPA seperti jalan sore, Mabit, games keren yang udah kurencanakan dari jauh hari, tapi kesemuanya ga lekas terwujud. Pikiran-pikiran buruk datang dan rasa menyalahkan diri sendiri atas kejadian masa lampau pun terulang kembali. Entahlah. Bisa dibilang aku mulai menyadari salah satu kejadian masa kecilku yang dampaknya terasa sekarang. Atau orang masa kini sebut sebagai inner child. Dia sedang minta disembuhkan karena kurasa inilah puncak triggernya.

Turns out aku punya hipotesis soal salah satu inner child-ku. Okey bolehlah kini aku dikenal banyak temen dan relasi. Tapi aku ketakutan ketika ingin mencoba menjalin komunikasi tingkat lanjut (tidak hanya urusan profesional) dengan mereka. Bahkan menjadikan seseorang partner kerja pun aku banyak mikirnya. Kecuali pada beberapa orang, aku enggak sungkan untuk meminta tolong. Tapi sebagian besar, nyaliku ciut setiap pikiran negatif sekelebat lewat. Orang-orang pasti akan menanggapi, “yaampun belum dicoba ya mana tau gimana.”  Percayalah, itu berat banget buat kulakukan. Langkahku seperti tercekat dan tertahan. Kelamaan, akhirnya kesempatan demi kesempatan berlalu begitu saja menyisakan penyesalan tak berguna. Apalagi aku semakin menyadari hal ini setelah banyak hal kulewati dengan posisiku yang seperti itu.

Kalau boleh memutar waktu, aku ingin coba mengingat bagaimana diriku di masa kecil. Sejak kecil, aku sebenarnya penakut. Sangat penakut, terlebih buat hal-hal yang asing untukku. Baik takut pada makhluk halus (tapi aku ga ada pengalaman soal ini, hanya pengaruh film), takut pada nada tinggi dan kesal seseorang, takut pada manekin di toko baju, takut maju ke panggung, takut menyampaikan pendapat, takut berkenalan dengan orang, takut bergabung dengan kelompok main teman-teman, bahkan takut pada serial kartun Upin-Ipin. Rentetan kejadian tersebut membuatku memiliki titel “jirih” yang disematkan orang rumah. “Jirih” artinya penakut dalam bahasa Jawa. Hm, apakah hal itu akhirnya termanifestasikan seiring dengan tumbuhnya aku? 

Menurutku saat ini aku cukup keren karena bisa menaklukkan sebagian besar daftar ketakutanku. Namun kurasa aku belum juga cukup berani… Bayang-bayang diriku yang sering sendiri dalam keramaian sejak kecil membuatku takut untuk keluar dari safe zone-ku yang itu. Itu sebenarnya pilihanku, aku sering menolak ajakan teman-teman untuk ikut dalam permainan dan memilih untuk jadi penonton keseruan mereka saja. Menolaknya sambil malu-malu pula! Entahlah, alasannya ambigu. Pikiranku ketika dihadapkan situasi serupa hanya ada dua pilihan: aku akan bergabung ke permainan atau aku akan diam di tempat. Seringnya aku memilih opsi kedua, sedangkan opsi pertama hanya mereka-mereka yang beruntung saja. Permainan yang aku dengan senang hati bergabung adalah masak-masakan, engklek, lompat tali, sepedaan. Sisanya permainan yang berbasis tim, aku memilih enggak gabung kalau ga ada dorongan besar dari dalam diriku. Misal: gobag sodor dan badminton ganda. Aku takut menjadi beban karena ga paham jobdesc, begitu pikirku. Tapi ada rasa sedih ketika menonton dan semakin sedih plus menyesal ketika dewasa karena kurang momen dalam hal itu (yang mulanya juga karena tingkah penolakanku). Untuk hal tolak-menolak ini aku masih belum yakin apa penyebabnya, tapi kurasa ada hubungannya juga.

Daann rupanya ini terbawa sampai sekarang. Aku menyadari bahwa aku ketakutan ketika harus bekerja sama dengan orang lain. Aku ketakutan untuk memulai hubungan kerja sama. Mau dibilangin gimana pun aku tetap akan takut memulai sesuatu, terlebih sesuatu yang besar jika tidak dibersamai. Aku memilih untuk bekerja sendiri daripada bergerak bersama tim untuk mencari arah menuju goals. Atau lebih baik bekerja terbimbing, deh, alias jadi anggota aja! Ya karena memang enggak terlatih dari kecil. Kebanyakan ikut leadingnya orang terdekat (dan terpercaya). Kadangkala kalau sedang on fire, aku berani untuk mengambil risiko memimpin sebuah divisi atau tim. Tapi biasanya semangatnya bertahan di awal-awal pekerjaan, makin ke sana makin kabur. Alias mulai pertengahan jalan, banyak pikiran negatif muncul dan berdampak pada kepercayaan diriku yang semula sangat di atas bisa tiba-tiba ngedrop jatuh ke dasar. Dan untuk kembali meyakinkan diri sendiri itu ga mudah. Pantas saja orang-orang tetap meminta tolong pada ahlinya untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Aku pun sama, harus ada usaha afirmasi positif yang kuat untuk saling support meski itu dari aku untuk aku sendiri (ga punya tempat keluh kesah atau support system menurut definisi muda-mudi masa kini :”)). Seringnya aku survive meski harus merasakan payah dan patah berkali-kali :”) Alhamdulillah...

Lalu setelah pikiran mengenai inner child ini menemukan kesimpulan hipotesisnya seperti yang ditulis di atas, aku tetap masih bersikukuh untuk mencoba memanggil lagi remaja-remaja masjid. Rupanya aku melupakan satu aspek: zaman yang sudah berubah berikut orang-orangnya. Kebanyakan anak yang kukenal aktif rajin ke masjid adalah anak pemalu. Lebih memilih di rumah daripada ke masjid. Aku akan sangat menghargai jika orang itu enggan ke masjid karena rumahnya jauh. Tapi aku bisa kesal dengan mereka yang rumahnya dekat masjid tapi ga ada effort untuk sama-sama memakmurkan masjid. Mungkin ini salah, tapi aku amat sangat berharap bisa mengaktifkan dan mewujudkan kembali harapan adik-adik TPA terlebih kalau mereka udah menyinggung soal mabit dan takbiran. Kepalaku mau pecah karena sadar enggak punya bala bantuan :”

Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengontak salah satu teman. Meminta bantuan dan solusi. Sayangnya ia pun tidak memiliki solusi karena harus kembali bekerja di Jakarta. Sepulang dari bicara dengannya, mataku tiba-tiba memanas dan ada buliran air yang jatuh. Rupanya aku menangis! Entah tangisan keberapa di bulan Ramadan 1444 H ini, yang jelas aku merasakan kecewa saat itu. Aku jelas tidak boleh kecewa dengan temanku, maka tangisan ini diperuntukkan bagiku yang payah dalam mengatur orang sedari awal. Penyesalan datang tiap pekan agaknya, sehingga yang bisa kulakukan hanya terus melangkah melanjutkan yang sudah dimulai saja. 

Di luar zona TPA dan masjid ada kasus serupa, perihal mengoordinir orang dan rasa percaya diri. Ramadan tahun ini bertepatan dengan timeline pra-capstone project atau projek akhir di program Bangkit. Awalnya para peserta diminta untuk mencari tim sendiri-sendiri, kalau tidak ketemu baru nanti di-gacha sama penyelenggara. Aku super semangat dan siap pada langkah pertama, tapi tiba-tiba luruh juga ketika masa Student Meeting untuk sosialisasi capstone project. Luruhnya semangatku adalah karena mendadak teman-temanku sudah punya tim sendiri dan aku luntang-lantung masih kebingungan. Terekam jelas suasana ruang asisten di lab saat itu dimana ada tiga cohort yang sama-sama sedang mengikuti sesi Student Meeting. Salah satu dari tiganya adalah aku. Mereka berdua heboh membicarakan komposisi tim karena sepertinya sebelum itu mereka sudah merumuskan formasi, sedangkan aku berusaha menyimak siaran. Suara bising yang ditimbulkan cukup membuatku terganggu dan berujung pergi meninggalkan ruang asisten. Keluar lab, aku bertemu satu cohort (temanku) yang terlihat lemas juga setelah menyimak ketentuan tim. Kemudian bergabunglah cohort yang lain, sama-sama mengeluh. Tapi kuyakin aku pun punya keberatan yang sama, sehingga aku cukup diam saja dan memperhatikan teman-temanku mengeluh tak jelas.

Di titik itu aku merasa tidak punya keberanian untuk meyakinkan diriku bahwa aku worth to fight. Rasanya aku mau menyerah karena kenalan di luar komunitas kampus pun tidak ada. Tidak pernah bergabung di voice channel juga, bisa berharap apa? Ya akhirnya aku memulai untuk membentuk tim, namun karena beberapa hal aku melewatkan pula kesempatan emas ketika pertama kali memasang offering di Discord. Sampai kalimat ini ditulis, aku belum menemukan tim yang lengkap, hehe. Kenapa ga gabung ke tim lain aja? Ada dua orang yang sedang ngikut aku, masa mau kutinggal?

Setelah sebelumnya kapasitasku dalam mencari tim diragukan oleh sesama cohort yang parahnya berasal dari kampus yang sama, kelas yang sama, bahkan hitungannya kami cukup dekat (pikirku, entah dia bagaimana), kepercayaan diriku makin turun. Konteks diragukannya dalam hal "belum dapat tim padahal (menurutnya) kapasitasku mumpuni". Egoku tersentil dan berpikir bahwa dia sok tau tentang diriku. Dia enggak tau gimana susahnya aku mencari cara agar tetap tuntas urusanku di Bangkit, termasuk upaya agar tidak di-gacha (meski kini prediksiku aku 95% akan kena gacha; edit: 100%). Dia enggak tau udah sedalam apa kepercayaan diriku tenggelam, ditambah perkataannya itu. Susah untuk mengambangkan kepercayaan diriku kembali ke permukaan, apalagi melambungkannya ke udara. Jadi ya sudah, aku cuma bisa bertahan agar setidaknya bisa sampai garis finish. Huh, sepertinya memang kalau begini pilihannya antara menyerah atau bertahan, ya ga sih? Kepada seseorang, maaf ya kalau kamu baca. Iya aku cupu ga berani bilang langsung.

Sekelumit permasalahan yang kualami dalam sebulan secara sekaligus membuatku merenungkan kembali sebenarnya apa yang sedang kujalani? Apa yang sedang kucari? Apakah diriku berubah? Entahlah, aku takut perubahan, sama seperti lagu Lomba Sihir bertajuk "Mungkin Takut Perubahan". Aku enggak tau apakah setelah ini aku akan tetap menjadi orang yang kehilangan semangat atau kembali dengan gebrakan-gebrakan baru? Clueless pakai banget. Aku sudah kehilangan arah dan enggak tau bakal gimana setelah ini. Entah ini karena tingginya ekspektasiku atau memang sh*t happens aku juga enggak ngerti. Bingung gimana cara jadi lebih baik. Bingung juga apakah aku sudah memaafkan diri sendiri atau belum. Lagi-lagi saat ini cuma bisa apa? Ya, bertahan. Keep going

Terima kasih ya Allah aku enggak pernah kepikiran untuk mengakhiri hidupku sendiri. Menuju umur 21, semakin kepikiran untuk mendatangi psikiater atau psikolog untuk membantuku keluar dari bayangan ketakutan aneh ini. Agaknya dulu aku pernah tulis juga soal ketakutanku di blog ini. Entah, carilah sendiri kalau ada.


Yogyakarta, 25 April 2023

Ditulis sehari sebelum beneran kena gacha untuk tim projek akhir.


Komentar

BACA JUGA TULISAN YANG LAIN👇