Ambisius
Sabtu lalu, aku sedang berada di laboratorium, tepatnya di ruang asisten. Di tengah mempersiapkan slide presentasi acara pada sore harinya, tiba-tiba ada kakak tingkat masuk ke ruangan. Aku enggak familiar sama mukanya, lebih ke baru pertama kali lihat. Tampilannya oke, alias bisa dandan dan ngerti style. Tiba-tiba dia mengambil kursi dan duduk di sebelahku. Ngobrol satu-dua kalimat, tiba-tiba dia mengajak aku berkenalan, satu hal yang jarang banget kutemui selama kenalan sama kating (makanya kaget dikit pas itu). Seringnya aku yang bertanya nama, tapi kating satu ini beda. Namanya unik, setidaknya buat laki-laki. Enggak mau sebut karena takut dibaca wkwkw.
Untuk ukuran pertama kali kenal, menurutku dia orang yang suka sharing, even ke orang yang baru dikenal. Entah dalam rangka membuka topik atau bagaimana, intinya peranku saat itu cuma BNN alias bagian nanggap-nanggapin aja. Dia sharing banyak termasuk pengalaman organisasinya. Hingga sampai di topik bagian perkuliahan, ini orang bertanya soal IP ku.
Dia : "Mba IP-nya berapa?"
Aku: "Mmm..." [diem ga mau jawab]
Dia: "Pasti tiga koma ya? Tiga delapan?"
Aku : "Hehehe" [geleng-geleng sambil pake gerakan tangan ke atas]
Dia : "Tiga tujuh?"
Aku : "Tiga sembilan"
Dia: "Wah tiga sembilan... Ambis nih pasti mbaknya"
Aku : [merasa "hah apa sih ni orang random banget"] "Hah enggak kok, banyak temen saya yang lebih ambis"
Dia : "Ga mba, mba ni termasuknya ambis"
Setelah itu aku cuma senyum aja. Lepas bibirku udah balik ke kondisi normal, pikiran-pikiran langsung menyerang. "Apa bener aku ambis?", "Emang ambis tuh yang kaya gimana?", "Kok dia sok tau banget", dll. Karena aku ga paham kenapa "dikatain" ambis, aku diem dan kembali fokus ke PPT-ku.
Sampai hari ini aku jadi kepikiran lagi sama kata-kata katingku itu. Ditambah habis liat video di Tiktok yang intinya si orang di video ni lagi ovt "sebenernya aku ngelakuin ini semua buat apa sih" dengan footage-footage kesibukannya: organisasi, part-time, belajar, dll. Aku pun jadi punya pikiran yang sama, "Apa sih yang aku cari?" Beruntung aku jadi menemukan sedikit jawaban yang, ga bisa dinilai valid juga sih. Intinya aku cuma mau mencurahkan sedikit hipotesisku apakah aku valid untuk dikatakan sebagai orang yang ambisius atau bukan.
Berpikir, berpikir, dan berpikir hingga akhirnya aku menyadari satu hal. Aku adalah anak pertama yang enggak punya tempat bertanya soal apapun kecuali orang tuaku. Itu pun gap umur kami udah beda zaman, bisa dipastikan ada hal-hal yang ga relate. Belum lagi kalau problem yang kutemui adalah problem materi kuliah, yang mana orang rumah sudah dipastikan enggak ada yang lebih paham. Jadi mau ga mau jiwa eksplorasiku akan muncul dengan sendirinya. Rasa penasaranku yang besar adalah rasa yang familiar kurasakan sedari kecil. Makanya seharusnya aku udah ga heran kalau semua yang baru dan menarik buatku akan kucoba. Entah gimana caranya pokoknya harus dapat. Kalau gagal ya dicoba lagi atau mending cari jalan baru.
Ini kalau aku curhat soal ini di Twitter bakalan jadi bahan bulan-bulanan sih. Takut dimarahin netizen twitter karena mereka pikir "semua anak tuh sama aja ya bebannya, ga usah merasa paling tersakiti deh." Jujur aja aku sering sedih kalau lihat konten tentang kakak, apalagi kakak perempuan pertama. Sedih karena relate dan kadang sedih terharu karena ternyata apa yang kita lakukan tuh juga dilihat sama adik. Adikku yang kelas 2 SMA pernah bertanya, "Kak, kakak kok bisa sih ga punya kakak? Kayak, kalo ga tau apa-apa atau bingung tuh nanyanya ke siapa? Kok bisa tau ini-itu tuh dari mana?" Aku yang ditanya kayak gitu tiba-tiba nge-freeze dan malah berpikir keras. Padahal harusnya gampang aja kalau mau jawab abi lah, umi lah, dll. Tapi anehnya aku kebingungan jawabnya, karena ya itu sebagian besar mencari sendiri. Tapi pada akhirnya aku jawab, "tanya Abi sama Umi lah, atau google".
Yaa karena rasa penasaran dan kurang terpuaskannya kalau dijawab sekadarnya sama orang tua (karena mereka betulan ga tau jawabannya) makanya aku sering kepo sama suatu hal yang menarik perhatian. Lebih sering mencari jawabannya sendiri, dan berujung mencoba apa-apa sendiri. Udah terbiasa begini tapi anehnya hingga saat ini aku masih ketakutan untuk mengambil risiko. Mungkin kalau sedang bekerja bersama orang aja kali ya, jadinya takut kalau yang lain kena imbas dari perbuatanku. Sedangkan kalau bekerja sendirian, aku dengan leluasa mencurahkan segala ide dan kemampuan sampai batas akhir untuk menjawab rasa penasaranku karena yang menerima risikonya ya diriku sendiri.
Satu paragraf di atas memberiku percikan baru, "memang kalau memikirkan orang lain malah akan terasa berat." Maka dari itu sepertinya baiknya aku enggak perlu mencemaskan kalimat katingku tadi deh. Lebih baik fokus ke diri sendiri dan let the things go. Pun ga perlu memikirkan orang lain dalam melakukan sesuatu. Sekadarnya saja apalagi kalau memang tidak ada hubungan kedekatan yang berarti. Betulan deh, sengaja meluangkan sesuatu untuk suatu hubungan yang ga akrab dan urusan yang ga penting-penting amat tuh bikin cape sendiri. Kayak lebih baik invest waktunya untuk hal lain aja, atau istirahat di rumah. Masih banyak hal lain menunggu untuk diselesaikan.
Yogyakarta, 2 April 2023
Di tengah kemalasan berinteraksi dengan manusia karena social batteryku habis.
Komentar
Posting Komentar