Menjaga Cita-cita vs Mengejar Cita-cita

Siang tadi selepas mengisi materi di UMY aku main ke kos-kosan saudaraku yang terletak di seberang kampus. Seperti biasa kami bercerita tentang kesibukan sekarang, yang sedang dikerjakan, hal apa yang baru, kisah-kisah sedih dan prihatin ala mahasiswa, dan banyak lagi. Salah satunya bicara soal rencana masa depan, maksudnya kehidupan setelah S1.

Kami sama-sama punya rencana untuk melanjutkan sekolah setelah S1. Meski dia memilih untuk pending sebentar karena ingin merasakan atmosfer dunia kerja, tapi kami punya keresahan yang sama: "duh, bisa ga ya dapet beasiswa?". Siapa sih mahasiswa yang berencana melanjutkan kuliah tapi nggak pengen ke luar negeri? Dengan macam-macam kisah dan pengalaman menarik awardee-awardee terdahulu, rasanya sayang saja umurnya kalau tidak dipakai untuk mencoba at least satu kali seleksi. Urusan lulus enggaknya, itu pikir nanti. Belum lagi pengalaman belajarnya yang pastinya berbeda dengan belajar di Indonesia. Termasuk diriku, ingin juga mencoba hidup mandiri mencari ilmu di luar sana. Minimal motivasiku adalah "menjadi yang pertama di keluarga" dalam hal sekolah ke luar negeri.

Saudaraku satu ini punya harapan yang tinggi untuk bisa lolos. Dan kurasa hal itu bikin dia kepikiran dan merasa was-was terus meski sebenarnya dia masih fokus ke hal yang jauh lebih urgent untuk dipikirkan. Aku pun sama, punya mimpi juga, tapi entah aku ga sanggup untuk berharap lebih apalagi hingga membayangkan berada di depan gerbang kampus yang kuinginkan. Aku merasa selama ini aku hanya mampu yang namanya "menjaga cita-cita". Menjaga keinginan. Menjaga harapan. Hal ini membuatku nggak melupakan cita-cita tersebut sekaligus nggak berharap lebih. Kalau misal besok keterima, alhamdulillah. Kalau enggak, juga gapapa, masih ada kesempatan dan alternatif lain. Dan buatku, menjaga cita-cita itu jauh lebih menentramkan daripada mengejar cita-cita.

Menurutku, mengejar cita-cita itu seakan-akan kita didikte untuk mendapatkan hal tersebut. Meski menjaga cita-cita pun bisa jadi bermula dari memiliki target, tapi rasanya seakan tidak ada yang mendikte. Pertama kali aku tentukan apa yang kuimpikan. Kalau udah, banyakin cari referensi dan informasi. Tapi jangan terkesan sangat mengejar alias keep on your mind, keep on your pace. Kekuatan mengunci rahasia pun menjadi salah satu penyokong menjaga cita-cita menurutku. Maksudnya, kalau misal memang belum waktunya untuk diumbar dan dibicarakan ke orang-orang, lebih baik disimpan sendiri dulu saja. Entah kenapa di kasusku kalau aku menceritakan sesuatu ke orang nanti ujung-ujungnya enggak jadi. Maka dari itu aku mengambil pelajaran bahwa baiknya susun strategi dulu baru nanti boleh buka mulut, misal untuk minta saran dlsb. Setelah itu, pasrahkan saja semuanya. 

Kurasa aku menerapkan "menjaga cita-cita" ini sejak aku punya mimpi ingin menjadi cohort Bangkit 2023. Mimpi itu hadir ketika aku semester 4, tahun 2022 awal mungkin ya. Aku selalu berusaha diam saja ketika ada orang bercerita soal Bangkit, meski pengen banget nimbrung. Selesai tes pun aku masih belum mengaku ke teman-temanku kalau aku mendaftar Bangkit. Di titik itu aku sudah merasa siap dengan segala keputusan yang ada. Dinyatakan diterima, senang. Kalau dinyatakan tidak lolos pun rasanya tidak sekecewa dibandingkan seandainya aku sudah koar-koar duluan. Hingga akhirnya aku dinyatakan resmi lolos, baru aku mengaku dan merasa lega bahwa cita-citaku ternyata bisa tercapai. Jadi, untuk semua hal yang kujaga, caraku menghormati mereka adalah dengan tidak membeberkan terlalu banyak alias jangan sampai oversharing. Termasuk cita-cita ini, aku akan menjaga cita-citaku sampai satu persatu terealisasikan. 

Menjaga cita-cita pun menurutku terasa lebih memotivasi daripada berharap cita-cita tersebut terealisasikan. Karena kita jadi tahu ada yang sedang dijaga. Maka dari itu perasaannya akan selalu awas, bersedia mengorbankan dan mengupayakan apapun supaya api cita-cita tersebut tidak padam di tengah jalan. Kalau hanya sekadar berharap, agaknya kurang effort. Karena bersamaan dengan adanya harapan, teriringlah ekspektasi-ekspektasi dan ketakutan. Ekspektasi berharap terwujud dan takut jika tidak terwujud. Dua hal yang berseberangan bukan? Tentunya kalau berseberangan begini, energi yang dipakai kan jadi lebih banyak. Beda dengan menjaga yang aspek-aspeknya malah saling mendukung. Jadi meski sama-sama menggunakan banyak energi, itu akan mempercepat dan tetap menjaga kerangka cita-cita tadi.

Jadi pada intinya, mulai sekarang pakailah kata-kata "menjaga cita-cita" daripada "mengejar cita-cita". Dia ga kemana-mana, mungkin cuma takut aja dikejar padahal ga salah apa-apa. Menjaga cita-cita akan lebih ringan terasa daripada mengejarnya. Menjaga effortnya cuma diam dan tidak oversharing, sedangkan kalau mengejar artinya kamu perlu berlari yang akhirnya akan menjadi capek sendiri. Aku pun akan berusaha untuk menjaga cita-citaku hingga tercapai. Tidak akan kukejar, hanya kujaga sampai dapat. Kalau tidak dapat, ya sudah, enggak jodoh berarti. 

Komentar

BACA JUGA TULISAN YANG LAIN👇