Mengosongkan Ekspektasi
![]() |
Senja di Puncak Suroloyo yang cantik sekali! |
Iseng membuka-buka lagi draft tulisan di blog yang belum sempat dipublikasikan, ternyata ada tulisan ini yang sebenarnya sudah lahir (di draft) sejak April lalu. Setelah disunting, kurasa tulisan ini cocok untuk dipublikasikan di hari pertengahan bulan, tepat di hari pertama bulan Juli. Cerita ini adalah hikmah yang kupetik dari pengalaman sekali seumur hidup yakni KKN.
✧❁❁✧✿✿✧❁❁✧
April, 2024
Ada satu ilmu hidup yang baru sedikit-sedikit kupahami. Yang katanya dapat membuat hidup lebih tenang kalau diterapkan. Yang klaimnya dapat membuat hidup jauh lebih ringan. Ilmu itu kuberi nama "mengosongkan ekspektasi". Hal sepenting ini baru kusadari dua bulan belakangan. Tentu dipicu oleh kejadian-kejadian yang telah lalu dan tidak perlu dicari tahu kecuali kamu mau mendengar cerita sendu (berlaku jika kamu orang yang aman buatku) di salah satu harimu. Kalimat sebelumnya jujur sangat hiperbola, tapi tidak apalah, sekali-kali.
Mengosongkan ekspektasi adalah hal yang harusnya cepat kusadari kalau-kalau tidak mau berurusan dengan konflik batin dengan diri sendiri.
Bertemu dengan orang-orang random untuk hidup bersama sebulan mengabdi ke masyarakat adalah hal yang paling berperan dalam proses menimba ilmu "mengosongkan ekspektasi" ini. Cerita akan dimulai dari awal segala awal. Komposisi tim berisi sembilan orang menurutku sudah ideal dan paling tidak ada satu orang yang dapat memimpin kami. Singkat cerita tibalah hari yang disepakati untuk berkumpul pertama kali dengan tujuan saling kenalan dan juga memilih ketua. Dari sembilan, yang datang hanya tiga orang termasuk aku. Kukira ada yang salah, atau minimal beri penolakan jika tidak setuju dengan lokasi berkumpul. Nyatanya, tidak ada penolakan saat menentukan tempat. Yang kutemui di grup hanya para silent reader yang mendadak memohon maaf dan izin tidak bisa hadir tepat di 5 menit sebelum jam yang disepakati. Perlu digarisbawahi, lima...menit...sebelum...janji temu... Sakit hati? Jelas, namun bisa apa karena namanya juga baru pertama kali mencoba berkumpul. Akhirnya proses pemilihan ketua pun mau tidak mau diadakan secara online mengingat sudah harus mulai mengurus dokumen dan persiapan prakegiatan, juga FOMO dengan tim lain. Siapa yang terpilih? Skip, ga usah ditanya.
Aktif berorganisasi sejak SMP dan tidak terputus hingga sekarang memberiku gambaran bagaimana lingkungan kerja yang nyaman dan tidak nyaman, rekan kerja yang bisa diajak kerja sama, performa terbaik dan terburuk sebuah tim, dan yang paling utama: upaya mencapai tujuan bersama. Otomatis apa yang terpatri di diriku ketika memimpin delapan orang tadi ialah standar-standar yang biasa kutemui tadi. Ditambah sudah pernah memegang kendali sebagai pemimpin, aku mengerti apa yang harus dan jangan dilakukan. Ekspektasiku aku bisa memimpin timku dengan caraku sehingga dapat bersama-sama sampai ke tujuan. Semua berjalan dengan lancar hingga akhirnya sampailah di pertengahan kegiatan. Aku tidak melihat adanya perkembangan signifikan dari timku, bahkan tidak ada progres yang besar bagi tiap individu jika tidak kukontrol. Alhasil aku mulai merasa jenuh dan pecah sudah tangis itu di halaman posko (sepertinya anggotaku tidak ada yang tahu, aku tidak peduli juga sih, toh setelahnya tidak ada perubahan juga :P). Di titik itu aku merasa seperti tidak berguna sebagai pemimpin. Mulai merendahkan diri dengan berkata, "emang perempuan kayaknya ga cocok deh jadi ketua" saking merasa aku sangat gagal saat itu. Ditambah memang pernah ada omongan dari dosen yang seakan-akan tidak setuju kalau perempuan jadi ketua tim. Beliau berkata, "Ketua tuh jangan perempuan. Susah kalau moodnya berantakan, mudah stres, dll." Jujur sakit hati karena sejak sekolah sangat sering melihat perempuan jadi pemimpin, bahkan jadi cekokan sehari-hari.
Aku menangis di sambungan telepon dengan Abi. Kuceritakan semua overthinking-ku saat itu. Termasuk tentang rasa minder sebagai perempuan dalam hal pimpin-memimpin. Nasihat yang paling kuingat kudapatkan dari Abi adalah perihal menurunkan standar, turunkan ekspektasi. Jika rekan kerja sangat susah diajak kerja sama, ya sudah tinggalkan. Aku tau hal itu mustahil dilakukan ketika di suatu lokasi kamu hanya memiliki dirimu dan teman-teman regumu sendiri. Jadi pasti ada hal lain yang bisa dilakukan, misal pikirkan urusan pribadi. Urusan mereka biar diselesaikan masing-masing, ga usah ikut campur kalau udah stres. Ditambah kata-kata penyemangat bahwa perempuan berhak dan layak kok untuk menjadi pemimpin. Banyak juga perempuan yang berhasil dalam memimpin (tapi untuk kali ini aku bukan salah satunya...). Astagfirullah ga boleh merendahkan diri sendiri Beba...
Selain nasihat Abi, sebelum mencapai puncak kesabaran saat itu, teringat aku bersama seorang teman KKN pernah ngobrol malam-malam dengan salah satu pemuda desa tentang berbagai macam topik. Rizki namanya, kelahiran 2003 tapi pengalaman hidupnya sudah jauh lebih banyak dariku. Kuceritakan sedikit tentang Rizki. Laki-laki ini dengan tegas menolak kuliah. Alasan yang dia ungkapkan dia "hanya" butuh uang, makanya memilih untuk bekerja menjadi kurir daripada kuliah. Cukup realistis, pikirku. Tapi yang membuatku amazed adalah ternyata Rizki orang yang asyik untuk diajak berbicara tentang buku dan berbagai kajian. Ada satu momen dimana kami membicarakan tentang ekspektasi. Aku, temanku, dan Rizki berdiskusi hingga mencapai kesimpulan yang didapat malam itu adalah "kita harus mengosongkan gelas kalau bertemu orang baru". Setelah dipikir, rupanya hal inilah yang mungkin sudah kulupakan saat bertemu teman-teman regu dan mungkin masyarakat sana. Aku terlalu menerapkan kosongkan gelas sehingga gelasnya ga penuh-penuh. Atau mungkin gelasku bocor sehingga kurang peka dengan berbagai pelajaran yang masuk dalam seminggu-dua minggu pertama kegiatan?
Nasihat Abi dan obrolan dengan Rizki saling berkaitan dan ada benarnya. Tindakanku menyikapi hari-hari berjalan seperti biasa tanpa ada ekspektasi apa-apa rupanya keputusan yang terbaik. Istilahnya adalah "live in the moment, live for present". Hidup untuk hari ini, hari esok dipikir besok. Ajaib, hari-hari yang kemarin kurasa berat mendadak lebih ringan. Memikirkan sesuatu di luar kontrol dan kuasa diri sendiri adalah definisi mencari penyakit. Boleh mempunyai ekspektasi, tapi kalau ternyata tidak bisa diwujudkan ya tidak usah marah. Mungkin ada faktor eksternal yang memengaruhi, contohnya partner kerja yang susah. Sejak saat itu aku tidak lagi memaksa diriku untuk berusaha membuat semua anggota mau menjalankan kegiatan bersama. Aku cenderung membiarkan anggotaku dengan catatan program-program milikku sudah selesai semua. Aku tidak mau terlalu memikirkan progres tim, hanya koordinasi-koordinasi biasa saja. Mengingatkan juga hanya sewajarnya, meski sudah kuusahakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang dapat memperlancar kegiatan (dan tidak dimanfaatkan juga oleh anggotaku). Nah di sini aku juga mendapatkan sebuah pandangan baru agar "jangan merasa paling berusaha dalam hidup". Karena orang lain juga tidak akan melihat itu, atau mungkin bagi mereka itu tidaklah cukup.
Coba ya kalau aku sudah sadar hal ini dari jauh-jauh hari, mungkin apa yang terjadi saat itu bukanlah hal yang memusingkan. Yah setelah dua bulan berlalu, ternyata masa-masa sulit dan berat bagiku ini (sebenarnya ada sekuelnya, tapi tidak usah diceritakan di sini karena ga terlalu relevan) selesai juga :).
Komentar
Posting Komentar