Mati Rasa

Di usiaku yang ke-20 tahun ini, aku mematahkan asumsiku sendiri bahwa manusia tidak bisa seperti komputer atau mesin yang dapat bekerja terus menerus dengan kinerja optimal (padahal tidak perlu dibuktikan pun harusnya sudah mengerti, ya?). Kesimpulan ini kudapat dari pengalaman salah mengambil keputusan beberapa waktu lalu. Ya, dipikir-pikir ternyata perasaan ini sudah terpendam lama, dan rasanya hari ini aku mau ledakkan itu semua di sini. Tidak seperti yang sudah-sudah, semoga tulisan ini tuntas ya.

Turns out ternyata aku menemukan sebuah fakta baru soal diriku. Bukan Beba namanya kalau mudah mempercayai sesuatu yang belum pernah dicoba. “Awalnya hanya coba-coba, eh ternyata kesasar. Mana jalannya cuma satu arah, tidak ada kesempatan putar balik.” Beberapa bulan lalu, kupikir cara kerja manusia menyelesaikan tugas itu bisa diupayakan seperti komputer meng-compile kode yang mana jika baris pertama selesai dieksekusi, maka akan lanjut baris selanjutnya. Konsep tersebut kucoba terapkan ke real life dengan menuliskan banyak list tugas beruntun sampai layar HP bisa digulir. Toh juga Allah berfirman, 

“Jika telah selesai suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain” (Q.S Al-Insyirah:7).

Pertamanya oke dan merasa, “wah sepertinya aku mampu”. Ternyata di akhir… BOOM… Meledak fisik dan psikisnya. Hahaha naifnya diriku.

Kalau dirasakan sekarang rasanya ingin memaki-maki dan menghukum diri sendiri. Agaknya Lomba Sihir benar. Dalam lagunya yang bertajuk Polusi Cahaya, “terlalu sering ‘ku mengiyakan dunia, mati rasa.” sampai lupa bahwa diriku pernah berteriak kepadaku, “Hey kamu, masih ada beberapa amanah yang lebih berat sedang dipikul, loh!” . Namanya juga mati rasa, ditambah budeg, diteriaki seperti itu juga tidak ada pengaruhnya. Buktinya sampai detik ini masih bertambah saja list tugas itu. Untuk tugas akademik, it’s okay lah, sudah jadi prioritas utama dan tidak masuk perhitungan topik obrolan artikel ini. Yang mengganggu adalah tugas non-akademik ini loh. Lagi-lagi, aku tidak mendengarkan kata hati. Padahal sudah membaca buku “Sang Alkemis”-nya Paulo Coelho, merekomendasikannya ke orang-orang, tapi kok tidak mempan di diri sendiri?

Keputusan-keputusanku dewasa ini didominasi oleh pertimbangan pribadiku sendiri tanpa meminta objektivitas dari orang lain. Jujur ini salah, setidaknya menurutku. Dulu terbiasa meminta pendapat ke teman di asrama, sekarang rasanya hampa karena mereka sudah punya urusannya sendiri-sendiri sehingga mulai merasa takut jika mereka terganggu dengan hal remeh-temeh seperti ini. Teman kuliah dan organisasi ada, tapi aku enggan mencoba karena…tidak ada kedekatan emosional? Kadang juga hanya dijawab “ya terserah kamu aja enaknya gimana” tanpa memberikan pertimbangan lanjutan karena kurasa mereka juga tidak berminat membahasnya lebih jauh. Orang tua? Ada juga, tapi entah kenapa aku jarang bertanya (lebih tepatnya enggan) jika bukan benar-benar hal genting yang menyangkut nama mereka. Oke, bisa disimpulkan mulai dari sini aku sudah salah.

Mengharapkan kehadiran seseorang untuk bisa menjadi seorang pendengar dan penasihat yang baik? Tentu saja. Terlebih isi otakku amat random, tiba-tiba spontan (uhuy!) berpikir tentang satu-dua hal yang tidak saling berkorelasi. Tidak, tidak. Aku tidak mengharapkan kehadiran kekasih (meski ada sedikit keinginan, dengan syarat intensi akhirnya menikah). Hanya ingin kehadiran seseorang, tidak pandang jenis kelamin, yang sukarela dan tidak keberatan jika kudatangi dengan belasan bubble chat atau celetukan aneh. Tentu hubungan ini harus dua arah, alias aku pun harus ada untuknya dengan sukarela, tanpa harus dibebani perasaan “dalam rangka membalas perbuatannya”. Lama-lama aku merasa sepi dan sendirian. Aku sebenarnya tahu samar-samar jawabannya mengapa jadi seperti ini. Tapi biarkan aku bercerita dan memvalidasi perasaan kesepian ini terlebih dahulu.

Bergabung di beberapa organisasi tidak juga menghilangkan rasa kesepian dan kesendirian. Malah justru rasa sendiri ini muncul sejak memegang posisi badan pengurus harian (BPH) di berbagai kegiatan dan organisasi tersebut. Rasanya I’m totally changed. Adanya perubahan pada diriku tentu indikator yang baik. Tapi makin kesini kenapa makin terasa berat ya? Mungkin masih adaptasi, pikirku. Masalahnya jika disebut adaptasi, kenapa adaptasinya lama sekali? Meski sudah mendekati setengah periode di organisasi A dan akhir periode di organisasi B ternyata hasil kerjaku memimpin belum juga kentara.

Kadang merasa malu dengan teman-teman yang mungkin baru mencicip organisasi tapi prestasinya sudah membanggakan layaknya sudah terbiasa memegang posisi tersebut. Malu juga ketika tidak bisa memberikan pendapat atau insight yang bagus, padahal hendaknya sebagai partner ketua aku bisa memberikan ide untuk permasalahan bidang-bidang lain. Merasa ingin menyerah setiap saat, kau tahu? Apakah aku tidak cocok dengan posisi tersebut? Apakah aku hanya dibodohi ilusi motivasi bahwa semua orang pantas menjadi pemimpin? Apakah aku produk gagal dari sekolahku yang memiliki tagline “Sekolahnya calon ulama, pendidik, dan pemimpin putri Islam”? Apakah aku mengikuti banyak kegiatan hanya supaya terlihat sibuk padahal kinerja juga segitu-segitu saja, tidak berpengaruh secara signifikan?

Sering merasa bahwa aku tidak pantas menciptakan momen kebahagiaan pribadiku di saat banyak unchecked task list masih berada di atas pundak. Sering pula merasa bahwa aku tidak pantas untuk mengeluh, bahkan di media sosial yang aku pun menyesal kenapa harus diikuti oleh teman-teman real lifeku. Kekhawatiran dibicarakan di belakang adalah bahan overthinkingku belakangan ini. Kalau boleh ditarik benang merahnya, kekhawatiran ini muncul sejak status WA-ku di-screenshot dan dikirim di grup tim lomba yang saat itu aku masih bergabung di dalamnya, kemudian diberi tulisan oleh pengirimnya (rekan tim), “nih anaknya bisa ngestatus”. Memang aku yang salah, ketika dicari malah menghilang dan no responses. Sebelumnya memang pernah ada sedikit gesekan dengannya hingga akhirnya dipertemukan di tim lomba ini. Tapi tidak disangka ternyata masih ada setitik sentimen terhadapku. Akhirnya aku pun keluar tim karena merasa tidak capable dengan ide tim ditambah kejadian itu membuatku semakin tidak nyaman jika berlama-lama di sana. Hehe, sepele ya? Aku memang payah. Maaf kepada rekan-rekan tim jika ada salah satu di antara kalian yang membaca tulisan ini nantinya.

Tadi kusebut jika aku sudah menerka-nerka jawaban yang sekiranya mendekati. Kuncinya adalah reach out. Jika diingat-ingat, aku memang kurang me-reach out teman-teman, lingkungan di sekitarku, hingga akhirnya aku merasa tertinggal dan sendiri. Meski sudah tahu kunci ini, rasanya sulit sekali ingin memperbaikinya. Kesalahanku dalam mengambil tindakan agaknya karena jarang menuju tidak pernah didiskusikan matang-matang. Selama dirasa masih mampu menambah list tugas, akhirnya di-gas sampai akhirnya meledak seperti sekarang ini. Aku pun tidak memiliki tempat bercerita tetap kecuali media tulis seperti Notion, Blogspot, bahkan buku jurnalku. Berdiskusi, berpikir, sampai berdamai dengan pikiranku sendiri di sini. Baru kali ini aku menyatakan kejujuran pada diriku sendiri bahwa aku lelah jika semuanya dipikul, dipikir, dan diputuskan sendiri. Aku ingin memiliki teman, teman yang betulan teman. Cukup rasanya aku untuk menutup diri, tapi mohon jangan sampai oversharing juga.

Tamat.


Yogyakarta, 23 Oktober 2022

Dipublikasikan pertama kali di laman Notion pribadi 21 Oktober 2022

Komentar

BACA JUGA TULISAN YANG LAIN👇