Kapan Berhenti Ngurusin Orang?
Satu dari sekian, hehe |
Melihat pola postingan-postingan lama, rasanya ga afdol kalau bulan Ramadhan tahun ini ga update tulisan. Pas banget ini juga lagi resah (bisa ga sih sekali-kali yang tenang?) tentang suatu hal. Sesuatu ini bikin energi terkuras habis. Ga cuma energi, emosi juga. Dan karena hal ini juga aku jadi lebih memahami macam-macam model karakter manusia.
Beberapa pekan lalu aku sedang merasa capek, capek secapek-capeknya. Ya tugasku di kampus, di himpunan, di IPM, di masjid rumah tenggatnya bersamaan. Sebagian memang betulan "berbentuk tugas", sisanya beban pikiran pribadi aja. Pikiranku digentayangi berbagai spekulasi dan skenario buruk tentang tanggung jawabku yang belum terealisasi dan berjalan sesuai rencana, naudzubillah amit-amit jangan sampai terjadi. Alhamdulillah beneran ga terjadi (semoga), tapi astagfirullahnya aku jadi buang-buang waktu karena terlalu fokus pada keriuhan di dalam kepala daripada bergerak memulai aksi meninggalkan tempat duduk.
Selama "menikmati" masa capek kemarin, aku akhirnya menemukan suatu pertanyaan dan harus dijawab oleh seseorang yang minimal pola kehidupannya mirip denganku. Hingga tiga hari lalu kuputuskan untuk bertanya pada sang Ayah yang notabene kehidupannya dari muda (bahkan sampai saat ini masih) 11-12 mirip seperti apa yang sedang kualami. Oh sebut saja malah aku yang meneruskan kehidupan masa mudanya.
π§ : "Abi, Abi capek ga sih ngurusin orang?"
π¨ : *agak kaget* "...capek..." (suaranya lirih, hampir ga kedengeran)
π§ : "Terus kenapa Abi tetep mau (ngurusin orang)?"
π¨ : "Ya gimana Kak, dapet pahala."
Setelah dijawab gitu, percakapan pun berakhir. Iya gaada kelanjutannya, semua sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing dan Abi pun ke WC.
Percakapan tempo hari terus terngiang-ngiang di kepala. Hingga akhirnya mungkin aku menemukan jawabannya semalam. Betul-betul semalam sehabis tarawih. Malam tadi aku tadarus dan sampai di Q.S. Fathir ayat 10. Arti ayatnya begini:
"Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. Dan rencana jahat mereka akan hancur."
Kemudian tiba-tiba aku teringat salah satu mahfudzhat/kata-kata mutiara yang sering kuucapkan di akhir kalimatku tiap selesai memberi sambutan atau materi. Kalimat itu adalah "'Isy kariiman au mut syahiidan" yang artinya "hidup mulia atau mati syahid". Entah kenapa aku selalu menyertakan kalimat itu. Seperti ada semangat yang meletup setelahnya.
Mungkin kelak ada teman sekolahku yang membaca tulisan ini entah kapan. Yang jelas, mereka ga akan asing sama kalimat 'isy kariiman au mut syahidan ini. Kalimat ini adalah jargon dari suatu organisasi kedaerahan (orda) milik teman-teman Jawa Timur, sebut saja IPMMMATIM (maaf kalau salah eja). Dulu aku enggan mengucapkan kalimat ini sebab "aku bukan anak Jawa Timur, takut diceng-cengin ada "sesuatu" dengan Jawa Timur". Saat itu biasanya yang seperti itu lantas digodain "cie ada siapa tuh di Jawa Timur ehm ehm". Padahal mah aku suka banget sama kalimat ini sebab itu motto hidupnya Abi (ternyata). Tau dari mana? Hahaha baca CV-nya beliau pas lagi mau ngisi kajian di suatu tempat.
Kembali lagi ke topik awal. Hidup mulia atau mati syahid. Aku iri sama Abi yang sedari mudanya sudah mengerti apa yang beliau mau dan kejar. Sebagai anak aku selalu merasa termotivasi, padahal beliau jarang kasih kata-kata penyemangat selain kisah-kisah masa mudanya dulu. Beliau pernah bilang,
"Kakak ga perlu pengen jadi kayak Abi, cukup jadi diri Kakak sendiri aja. Hebat dengan cara Kakak sendiri." π.
Hidup yang mulia jika dimaknai sebagai suatu hal yang duniawi ngga akan apple to apple dengan mati syahid yang merupakan hal ukhrawi. Jadi menurutku rasanya salah jika kita menganggap "mencari kemuliaan hidup" adalah dengan mencari jabatan, menggapai kedudukan, ambisius menaikkan pangkat secara rakus supaya dianggap berkuasa, dielu-elukan orang lain, si punya nama, dll. Karena kebanyakan yang seperti itu tujuannya hanya bersifat nikmat dunia saja. Berbeda jika kita melihatnya dengan visi akhirat. Mencari kehormatan dan martabat dengan niat ingin mengharap balasan dari Allah setimpal dengan mereka yang memilih mati syahid, dimana kita tau bahwa mati syahid pun bukan sesuatu yang main-main dan ganjarannya surga.
Lalu apa hubungannya dengan keresahanku seperti di paragraf awal?
Sebenarnya sampai detik ini pun aku masih merasa abstrak, belum menggali lebih dalam korelasi antara ayat yang kutemukan, mahfuzhat 'isy kariman au mut syahidan, dan judul tulisan ini. Tapi sejauh ini rasanya aku menemukan kesimpulan bahwa perjuangan dan pergerakanku "ngurus orang lain" jangan berhenti sampai di sini. Jeda boleh, berhenti jangan. Capek, suntuk, emosi, dan seterusnya itu memang bumbunya. Tapi di sela-sela berjuang untuk meraih kehidupan yang mulia, aku juga perlu memilah dan memilih mana yang sekiranya bisa kupegang erat-erat dan mana yang harus kulepaskan. Kita masih manusia dengan segala keterbatasannya. Pilih mana yang dirasa akan membawa pada tujuan, yang sesuai dengan visi hidup kita.
Mencari hidup mulia tidak melulu soal kepentingan pribadi, bisa juga dimaknai berjuang bersama di organisasi, bahkan memperbaiki lingkungan sekitar rumah pun termasuk upaya mencapai kemuliaan hidup. Hanya nanti pertanyaan yang harus siap dijawab adalah:
"Yang mana pilihanmu, hidup bermartabat atau mati dalam keadaan syahid? Lantas, seberapa besar tekad, niat, dan kontribusimu untuk betul-betul mengangkat derajat martabat kehidupanmu sebagai manusia?"
Komentar
Posting Komentar