Early 20's Thought
Tulisan ini kudedikasikan untuk diriku yang sudah berumur 19 tahun atau sebut saja tahun depan akan menginjak kepala dua. Tepat dua minggu lalu, berkurang sudah umurku satu tahun, yang artinya semakin tua hingga memberi kesadaran bahwa sudah banyak hal yang kulalui namun belum memberi kesan dan warisan baik untuk hidup ini. Tapi gapapa, semoga di tahun ke-19 ini aku setidaknya bisa mulai merancang dan membangun pondasi demi masa tua yang tenang.
Ada satu hal yang membuat aku bertanya-tanya semenjak berumur penghujung belasan, termasuk efek pandemi juga kayaknya. Amat sangat mengganggu sampai aku menarik problem ini terlalu jauh mundur ke belakang saat masih dalam buaian Umi. Tentang parenting, pola pengasuhan orang tua yang kemungkinan membentuk sebagian besar diri kita saat ini. Membentuk sifat kita, kepribadian kita, pola pikir kita, pandangan hidup, dan banyak lagi. Pikiran ini bermula ketika aku membanding-bandingkan diriku (lebih tepatnya keluargaku) dengan keluarga teman. Kemudian bercabang ketika aku yang rupanya sangat terbuka (untuk beberapa hal) kepada beberapa teman baruku.
Mungkin aku mulai dengan keluarga temanku yang pertama, sebut saja X. Terlepas dari kondisi pandemi, sebenarnya aku sudah iri sejak kami saling mengenal satu sama lain lebih dekat tepatnya ketika masa (S)MA dulu. Yang membuat aku iri adalah X bisa tanpa sungkan bercerita apapun kepada orang tuanya. Semua yang X rasakan dan pikirkan dapat tersampaikan dengan baik kepada Bunda/ Abahnya tanpa sekat. Bahkan untuk urusan hati yang kutau memang perasaannya hanya bertepuk sebelah tangan... Aku yang mendengar ceritanya sempat ingin mencoba untuk seterbuka itu dengan Umi-Abi, tapi yaa akhirnya kembali lagi seperti sedia kala yakni memendam apa yang kurasakan dan kupikirkan kecuali memang butuh persetujuan dan pandangan dari mereka. Entahlah, tapi memang begitu adanya. Aku kurang pandai untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam diriku sebab kupikir "nanti akan baik-baik saja". Jadi dari cerita X aku menyimpulkan pasti ada latar belakang atau sebab X dapat seterbuka itu, mungkin karena pola parenting orang tuanya?
Kalau tadi yang pertama, maka pasti ada kelanjutannya. Ini kisah temanku yang kedua, sebut saja A. Pola pengasuhan keluarga A sepertinya amat sangat mengedepankan asas kekeluargaan alias kayak hangat banget dan harmonis satu sama lain, oh dan agamais banget. Yaa aku ga bilang kalau keluargaku ga harmonis, tapi mendengar kisah temanku ini cukup membuat aku iri sebab sepertinya banyak sekali momen kebersamaan yang dilalui dan telah menjadi rutinitas. Sebagai contoh, selama pandemi ini umat Muslim dianjurkan untuk beribadah di rumah saja. Yang menerapkan salah satunya keluarga temanku ini. Setiap waktu shalat mereka berjamaah sekeluarga di mushola rumah, lalu dilanjutkan berdzikir bersama dan tausiyah giliran dimulai dari ayahnya sampai adiknya (bagian ini cuma ba'da magrib aja kayaknya). Kemudian beberapa waktu lalu, terpaksa sekeluarga melakukan isolasi mandiri (isoman) sebab ada satu anggota yang menderita penyakit Covid-19. Walaupun terpisah kamar, ternyata sekeluarga itu tetap melakukan dzikir bersama via video call WhatsApp. Cute banget kan. Aku melihat status WhatsApp temanku ini tiba-tiba merasa iri kemudian membandingkan dengan apa yang ada di rumahku.
Kisah pandanganku terhadap kedua temanku tentang keluarganya masing-masing sudah usai, kini mari kuceritakan pandangan orang lain terhadap keluargaku. Kasusnya memang ga apple to apple sih... tapi seenggaknya masih memuat nilai-nilai soal parenting.
Orang pertama yang menilai keluargaku berdasar apa yang kuceritakan padanya adalah tentang urusan pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Jujur saja orang pertama ini kakak tingkat laki-laki, dan hitungannya baru kenal (ketemu) di bangku perkuliahan (ya iyalah). Biar mudah sebut dia sebagai R. Sebagai intro, orang tuaku memang menerapkan batasan atau border kepada tiga anak perempuannya ketika berinteraksi dengan dunia luar. Yang pertama dan amat tegas adalah perihal batas jam main. Kami dibatasi boleh berada di luar rumah hanya sampai waktu maghrib. Sepengalamanku ketika maghrib belum sampai rumah, Abi vidcall untuk segera pulang. Ini terjadi kalau sebelumnya ga izin pulang telat. Nasihat pertama yang disampaikan Abi kalau maghrib belum di rumah adalah "yang penting solat disana dulu, terus langsung balik!". Jujur iri sama teman yang boleh main di luar sampai malam tanpa ada yang melarang-larang. Boleh kok kalo kalian bilang mereka konservatif, tapi menurutku ini baik dan merasa sebagai sebuah bentuk penjagaan dari kedua orang tuaku.
"Dunia luar" yang selanjutnya adalah pergaulan antar lawan jenis. Sebenarnya berteman biasa boleh, tapi orang tuaku tidak afdhol kalau tidak menginterogasi "Siapa dia? Kenal dimana?". Agak capek karena merasa ga bebas seperti teman-teman lain yang mungkin mau berteman dengan siapa saja tanpa interogasi begini. Sekali lagi boleh kok bilang mereka konservatif, tapi menurutku wajar orang tuaku melakukan seperti ini karena ada marwah yang harus dijaga. Bukan cuma marwahku aja, tapi ada marwah orang tuaku juga :). Bagian marwah ga aku ceritain ke R karena baru kepikiran beberapa waktu lalu setelah masa perenungan. Lanjut, sudah mutlak kita semua tahu bahwa dalam Islam kita dilarang mendekati zina. Orang tuaku khawatir terhadap anak-anak perempuannya terjebak di lingkaran haram sebelum nikah ini. Orang tua mungkin bisa lihat karakter anak-anaknya kali ya tanpa diceritakan, termasuk aku yang lemah soal romansa tapi gampang baper (lebih tepatnya GR aja sih). Biasa kan ya cerita-cerita di luar sana kalau ada nih dua manusia beda jenis kelamin udah deket dan mungkin punya rasa, kemudian mengajak untuk berkomitmen (entah dengan status atau HTS) saja tanpa niatan ke jenjang lebih serius. Nah disinilah poinnya orang tuaku mendirikan border atas pergaulan lawan jenis... Orang tuaku pernah bilang, "Kalau Kakak ketahuan punya pacar, langsung kita suruh nikahin saat itu juga!" Hehe..
Ternyata banyak ya yang kuceritain ke R :) . Terus balesan dia kurang lebih begini:
"Aku malah kagum lho sama pola didikan orang tuamu. Ga banyak di luar sana orang tua yang begini."
Intinya dia kagum kok masih ada zaman sekarang orang tua yang begini. Duh. Mau intermezzo sebentar, kemarin R ngucapin HBD pagi-pagi via chat sebelum grup himpunan rame ngucapin (dia inisiatif ngirim sendiri). Terus ada satu kating laki-laki yang ngucapinnya gini di grup himpunan: "Barakallah fi umrik 🥳 Balma, cepetan nikah". Like what?? Hahaha mana aku ga kenal deket sama dia... Dan kayaknya seumur-umur dari pengurus-pengurus yang udah berkurang umurnya gaada ucapan sejenis itu... Ngeri... ok back to story.
Pandangan dari R udah usai, giliran kita ke kating perempuan, sebut saja P. Kejadian ini masih baru banget kemarin lusa. Kalau ini dari sisi penjagaan orang tuaku soal bacaan yang dibaca anak-anaknya. Orang tuaku khususnya Abi memang cinta pengetahuan, dan senang ketika anaknya ada yang suka baca buku (yaitu aku ;D). Jadi bacaanku kadang harus lolos pantauan beliau. Kayaknya pernah deh aku cerita di blog ini soal kejadian ga mengenakkan dengan buku karena Abiku lalai (atau akunya yang keras kepala?). Intinya bangun-bangun aku tidak mendapati buku yang kubeli semalam dan malah diberi setumpuk buku bapak-bapak Muhammadiyah. P ketawa dong, kemudian chat kami dijadikan status sama dia dengan caption "Akhirnya tau sedikit soal parentingnya 🤭" Ih aku bukan pengingat yang baik, intinya P bilang gitu.
Dari keempat cerita di atas aku malah menarik jauh ke belakang pikiranku, dan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
- "Kira-kira ketika orang tuaku awal-awal menikah apakah pernah punya kesepakatan soal pola dan cara mendidik anak?"
- "Kira-kira orang tuaku dapet referensi mendidik anak dari mana ya?"
- "Apakah seperti ini bentuk parenting ala Nabi Muhammad SAW?"
- "Apakah pola parenting orang tuaku meniru pola parenting orang tua mereka dahulu kala?"
- "Apakah besok kalau aku punya anak akan seperti ini juga atau punya metode baru mendidik anak? Seperti kata orang di twitter 'aku gamau mendidik anak dengan gaya orang tuaku didik aku'. Lah memang mereka dididik seperti apa?"
- "Dimana ya cari tau soal pola parentingnya Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya?"
- "Apakah aku akan menjadikan suasana rumahku nanti agamais seperti keluarganya A atau seperti apa yang kurasakan sekarang ya?"
- "Kira-kira besok aku bisa deket sama anak-anakku seperti X dekat dengan orang tuanya ga ya?"
Lagakku kayak dah siap banget membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah ga sih? WKWKKWK tapi kayaknya enggak dulu deh, mau sarjana dulu baru cari pendamping :"D Entahlah kalo lain cerita nantinya :) Pada intinya, kesimpulan yang dapat kuambil sejauh ini adalah memang keluarga adalah instansi belajar pertama bagi anak, juga terpenting dari si ibu yang disebut-sebut sebagai madrasah pertama. Nanti anak berkarakter seperti apa mungkin itulah cerminan pola didikan orang tuanya. Jadi kalau mau punya anak yang baik pekertinya maka orang tua harus bisa mengajarkan, mengembangkan, dan membina potensi anak melalui instansi keluarga dengan baik dan totalitas :)
Komentar
Posting Komentar