Asian Parents' Politeness Parameter
Kadang masih suka risih kalo ada orang yang ga malu ngumbar hal-hal yang seharusnya ga diumbar. Dibalik tameng equality (ofc liberty) and education, batas ini makin menipis. Not that things are bad or gross, aku akui. Tapi kita tetap perlu filter yang setidaknya membatasi mana yang privasi mana yang boleh dikonsumsi publik.
Ceritanya aku lagi baca buku Girl Code dimana terdapat dua sahabat yang berhasil bikin video game tentang menstruasi. Jujur pertama kali aku baca sinopsisnya sekilas aku membatin, "hm.. kinda weird but... who knows?". Mereka bercerita pengalamannya selama membuat game Tampon Run. Disclaimer: tampon itu sejenis alat penghambat darah mens keluar-keluar.
Namanya Andy dan Sophie. Mereka adalah sahabat yang ketemu di camp coding Girls Who Code. Proyek akhirnya ialah membuat app, dan keduanya memilih yang memiliki efek sosial. Ketika itu wanita disana, terutama yang lagi haid masih dipandang sebagai sesuatu yang menjijikkan. Padahal udah tahun 2011 lho. Ya mungkin karena kita mengeluarkan darah, yang itu darahnya kotor, dan membuat kita terlihat berbeda dari manusia lain (laki-laki, read). Banyak pula daerah-daerah di luar Amerika yang masih punya mindset seperti ini, misalnya India. Intinya dimana-mana perempuan haid itu kayak dipandang sesuatu yang weird dan berbeda padahal inilah value of God's creation. Kebetulan juga saat itu disana terdapat diskriminasi antara pembawa tampon (ya, padahal tampon) dengan senjata. Yang bawa senjata dipersilakan masuk venue, sedangkan yang membawa tampon disuruh buang.
So, Andy and Sophie wants to break social stigma melalui keahlian mereka di bidang programming (ingin juga :(.. ), hingga lahirlah Tampon Run yang malah membuat mereka viral dimana-mana. Aku mengakui spirit feminisme-nya kuat. Dan yang membuat menarik adalah ketika Andy ragu-ragu menceritakan ide "gila"-nya ini ke orangtuanya yang berdarah Filipino. Hm... mau gimanapun Filipina kan masih jadi satu dengan Asia, ya kayak Indo. Bayangkan jika orangtua kita diajak bicara, "Mah aku mau bikin game tentang mens". Like what?? Why mens?? Kayak gaada ide lain aja.
Mungkin inilah yang Andy rasakan, sebab ya dia tau sendiri bahwa Asian parents cenderung tertutup dengan hal-hal tabu seperti ini. Berbeda dengan Sophie dimana dia berdarah Latin dan ofc bukan Asian. Aku gatau ya kesan orang Barat yang terkenal liberalnya menanggapi reaksi Asian yang rada gimana gitu kalo ngobrol soal ini. Bagi orang Asia jelas ini bukan sesuatu yang sopan menanyakan hal-hal privasi. Tapi di satu sisi, semua orang juga harus tau pentingnya sex-ed. Bingung ga lo? Aku juga bingung sampe sekarang. Padahal ya (menurutku) masih normal ngomongin hal beginian asal ga keluar dari jalur yang semestinya.
Poinku adalah, mengapa orang Asia -atau aku ambil yang dekat- termasuk Indonesia masih ragu untuk terbuka soal ini? I mean, dibanding orang Barat yang memang liberal, aku kepo alasan kenapa kita cenderung enggan untuk membahas hal yang seharusnya perlu diketahui. Bagiku, inilah cara menghargai dan memahami maksud Tuhan menciptakan perbedaan... Agar ga banyak salah paham mengatasnamakan gender. Poin tambahan, apakah memang benar "kesopanan" atau "politeness" memiliki tolok ukur yang berbeda antar negara? Kalo masalah tata krama jelas beda, but this is the other limit of politeness yang kalo orang Jawa bakal bilang "saru". It's our tasks to discover, and if i got the answer i'll be glad to write the sequel of this article.
Komentar
Posting Komentar